Suaraperjuangan.co.id|Langkat – Polemik pembangunan sebuah bangunan besar yang diduga akan dijadikan swalayan di Kelurahan Sei Litur Tasik, Kecamatan Sawit Seberang, Kabupaten Langkat, semakin mencuat. Pasalnya, lokasi bangunan yang disebut berdiri hanya beberapa meter dari aliran sungai memunculkan dugaan kuat adanya pelanggaran aturan tata ruang dan sempadan sungai.
Berdasarkan data yang diperoleh, bangunan tersebut mengantongi IMB Nomor 643.3-54/IMB/DPMP2TSP-LKT/2021, tertanggal 1 April 2021, atas nama Yusliadi, warga Dusun 1 Banyu Urib. Namun, muncul pertanyaan besar: apakah IMB tersebut diterbitkan sesuai dengan aturan hukum atau justru menabrak ketentuan yang jelas-jelas melarang pembangunan permanen di tepi sungai?
Secara hukum, garis sempadan sungai bukan perkara administratif belaka. PP Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai dan Permen PUPR Nomor 28/PRT/M/2015 secara tegas melarang pendirian bangunan di kawasan sempadan, kecuali dengan syarat khusus. Bahkan, jarak minimal 10–15 meter dari tepi sungai sudah menjadi patokan nasional.
Di tingkat daerah, Perda RTRW Kabupaten Langkat Nomor 9 Tahun 2013 mengunci kawasan sempadan sungai sebagai kawasan lindung. Artinya, jika bangunan swalayan tersebut benar-benar masuk ke dalam zona itu, maka IMB yang sudah diterbitkan patut dipertanyakan legalitasnya.
“Pemerintah Kabupaten Langkat tidak bisa hanya bersembunyi di balik penerbitan IMB. Izin boleh ada, tapi apakah izin itu sah jika melanggar regulasi yang lebih tinggi? Inilah yang harus dijawab,” ujar Risky Arianda, Ketua HIMMI Langkat, dalam pernyataannya.
Menurut Nanda, penerbitan IMB yang menabrak aturan sempadan sungai adalah bentuk kelalaian sekaligus potensi penyalahgunaan kewenangan. HIMMI mendesak Pemkab Langkat, khususnya DPMP2TSP, Dinas PUPR, dan Dinas Lingkungan Hidup, segera melakukan investigasi terbuka.
“Kalau benar bangunan itu masuk kawasan sempadan, maka IMB yang sudah dikeluarkan adalah cacat hukum. Solusinya hanya dua: dicabut atau dibatalkan, dan bangunan harus ditertibkan. Pemerintah jangan menutup mata,” tegasnya.
Warga sekitar juga mengaku resah. Sungai yang selama ini menjadi sumber air dan penopang kehidupan mereka, kini dikepung bangunan besar yang berdiri mencurigakan. Potensi banjir, pencemaran, hingga kerusakan ekosistem sungai dikhawatirkan akan menjadi bom waktu.
“Kalau dibiarkan, ini akan jadi contoh buruk. Apa semua orang nantinya boleh bangun seenaknya di tepi sungai hanya karena pegang izin?” ungkap salah seorang warga dengan nada kesal.
Kasus ini membuka dugaan adanya pembiaran oleh Pemkab Langkat. Padahal, dengan rujukan hukum yang jelas — mulai dari UU Penataan Ruang, PP Sungai, hingga Perda RTRW Langkat — seharusnya bangunan tersebut langsung masuk kategori bermasalah.
“Ini bukan sekadar soal bangunan swalayan, tapi soal keberpihakan pemerintah. Apakah berpihak pada kepentingan segelintir orang, atau pada lingkungan dan masyarakat luas?” kritik Nanda.
HIMMI Langkat menegaskan, pihaknya tidak menolak pembangunan atau investasi, tetapi menolak keras pembangunan yang diduga menyalahi hukum dan merusak tata ruang. Mereka siap mengawal kasus ini hingga ke level provinsi, bahkan pusat, jika Pemkab Langkat tetap bungkam.
“Jangan tunggu bencana dulu baru sadar. Sempadan sungai adalah garis merah. Kalau ini dibiarkan, sama saja Pemkab Langkat melawan hukum yang dibuatnya sendiri,” tutup Arinanda.(RA)
Posting Komentar