SUARAPERJUANGAN.CO.ID|LANGKAT - Dalam semangat memperingati Hari Pahlawan yang seyogianya menjadi momentum reflektif untuk meneladani nilai-nilai perjuangan, BEM Nusantara menegaskan penolakannya terhadap wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Presiden kedua Republik Indonesia, Soeharto.
Penolakan ini bukan sekadar bentuk perbedaan pandangan politik, melainkan suara nurani yang lahir dari kesadaran sejarah dan tanggung jawab moral terhadap masa depan bangsa.
Bagi BEM Nusantara, gelar pahlawan bukan hanya penghargaan simbolik dari negara, melainkan manifestasi penghormatan terhadap nilai-nilai luhur kemanusiaan, keadilan, dan keberanian melawan penindasan. Memberikan gelar tersebut kepada sosok yang memiliki catatan kelam dalam sejarah bangsa justru berpotensi melukai kembali ingatan kolektif rakyat Indonesia, khususnya para korban ketidakadilan pada masa Orde Baru.
*Pahlawan Sejati Tidak Melukai Rakyatnya*
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan Soeharto selama lebih dari tiga dekade meninggalkan jejak panjang yang tidak sepenuhnya dapat dikategorikan sebagai kepahlawanan. Di balik stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang sering diagungkan, tersimpan luka mendalam dari pelanggaran hak asasi manusia, pembungkaman kebebasan sipil, korupsi yang menggurita, serta ketimpangan sosial yang melebarkan jarak antara penguasa dan rakyat.
BEM Nusantara memandang bahwa pahlawan sejati adalah mereka yang berjuang dengan tulus tanpa menindas, yang berdiri di sisi rakyat ketika keadilan dipertaruhkan. Gelar pahlawan tidak boleh diberikan kepada siapa pun yang tercatat pernah melukai bangsanya sendiri, baik secara fisik, moral, maupun struktural.
Ghani Zulkarnaen Rais, selaku Korbidpus Politik, Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Nusantara, menyampaikan bahwa langkah untuk memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto justru menunjukkan krisis ingatan sejarah bangsa.
“Kami bukan menolak penghargaan, tapi kami menolak pemutihan sejarah. Pahlawan adalah mereka yang mengorbankan kepentingan pribadi demi rakyat, bukan yang mengorbankan rakyat demi kekuasaan,” tegas Ghani.
*Luka Reformasi Belum Sembuh*
Lebih dari dua dekade setelah reformasi 1998, bangsa Indonesia masih berjuang menegakkan nilai-nilai demokrasi, transparansi, dan keadilan. Luka akibat pelanggaran HAM masa lalu belum sepenuhnya pulih, dan banyak korban serta keluarga mereka yang belum mendapatkan keadilan.
Dalam konteks itu, BEM Nusantara menilai bahwa wacana pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reformasi yang diperjuangkan oleh mahasiswa dan rakyat pada tahun 1998. Gerakan reformasi yang menumbangkan rezim Orde Baru tidak lahir dari kebencian, tetapi dari keinginan untuk menegakkan keadilan dan mengakhiri kekuasaan yang menindas.
“Ketika negara berencana memberikan gelar pahlawan kepada tokoh yang justru menjadi simbol otoritarianisme, itu artinya kita sedang melukai kembali perjuangan para mahasiswa, aktivis, dan rakyat yang menjadi korban. Luka reformasi belum sembuh, jangan ditambah dengan kebijakan yang mengingkari sejarah,” ujar Ghani Zulkarnaen Rais.
*Menjaga Makna Kepahlawanan*
BEM Nusantara menegaskan bahwa pahlawan sejati tidak hanya diukur dari lamanya mengabdi atau besarnya kekuasaan yang pernah dimiliki, melainkan dari seberapa besar perjuangan mereka menjaga martabat manusia dan kebenaran.
Memberikan gelar pahlawan kepada seseorang yang memiliki rekam jejak pelanggaran hak asasi manusia adalah bentuk pengaburan nilai kepahlawanan itu sendiri.
Gelar pahlawan, menurut BEM Nusantara, seharusnya menjadi simbol penghormatan bagi mereka yang berjuang tanpa pamrih, yang menyalakan lilin di tengah gelapnya penindasan, dan yang keberadaannya menjadi sumber inspirasi bagi generasi penerus.
“Kita harus menjaga agar gelar pahlawan tidak menjadi sekadar alat politik atau upaya romantisasi masa lalu. Kepahlawanan harus tetap berdiri di atas kejujuran sejarah dan keadilan sosial,” tambah Ghani.
*Seruan Moral untuk Pemerintah dan Masyarakat*
Melalui pernyataan ini, BEM Nusantara menyerukan kepada pemerintah agar lebih berhati-hati dalam menentukan siapa yang layak mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Proses penilaian hendaknya tidak hanya didasarkan pada jasa formal dalam pembangunan, tetapi juga pada rekam jejak moral dan dampaknya terhadap rakyat.
BEM Nusantara juga mengajak masyarakat, terutama generasi muda, untuk tidak melupakan sejarah dan tetap kritis terhadap upaya-upaya yang dapat mengaburkan makna perjuangan.
Kita harus meneladani para pahlawan sejati yang berjuang dengan hati, seperti Bung Hatta yang memilih kejujuran di atas kekuasaan, atau KH Hasyim Asy’ari yang mengobarkan semangat jihad melawan penjajahan tanpa menindas bangsanya sendiri.
“Bangsa yang besar bukan bangsa yang memutihkan masa lalunya, tetapi bangsa yang berani mengakui luka dan belajar darinya,” ujar Ghani dengan tegas.
*Menolak Lupa, Menjaga Nurani**
Penolakan BEM Nusantara ini lahir bukan dari kebencian, tetapi dari cinta terhadap bangsa dan keinginan agar nilai-nilai kepahlawanan tetap murni. Di tengah derasnya arus politik yang sering kali memanfaatkan simbol-simbol sejarah, mahasiswa mengingatkan bahwa penghormatan terhadap pahlawan tidak boleh mengkhianati kebenaran.
Kita tidak menolak menghargai jasa siapa pun yang pernah berbuat untuk negeri ini, tetapi kita juga tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan rakyat yang lahir dari tangan kekuasaan.
BEM Nusantara meyakini, hanya dengan kejujuran sejarah, bangsa Indonesia dapat benar-benar berdiri tegak dan menjadi bangsa yang bermartabat.
Sebagaimana pepatah lama yang selalu dijunjung dalam nilai-nilai ketimuran: *“Air yang jernih tak akan lahir dari sumber yang keruh.”* Begitu pula dengan penghargaan—tak akan bermakna jika diberikan kepada mereka yang pernah mencemari nurani bangsa.
*Penutup: Keadilan Adalah Bentuk Tertinggi Kepahlawanan*
Pada akhirnya, BEM Nusantara menegaskan bahwa kepahlawanan bukan sekadar gelar yang disematkan negara, tetapi nilai yang hidup di hati rakyat. Gelar itu akan kehilangan maknanya jika tidak dilandasi keadilan dan kejujuran sejarah.
Dalam setiap peringatan Hari Pahlawan, kita diingatkan untuk menghargai pengorbanan, bukan kekuasaan; meneladani keikhlasan, bukan menutupi kesalahan.
Soeharto memang bagian dari sejarah bangsa, tetapi sejarah tidak selalu layak dijadikan teladan.
“Biarlah generasi muda belajar untuk menghormati masa lalu tanpa harus memutihkan yang salah. Karena bangsa yang adil adalah bangsa yang berani menempatkan sejarah pada tempatnya,” tutup Ghani Zulkarnaen Rais.(RA)
Oleh: Ghani Zulkarnaen Rais (Korbidpus Politik, Hukum, HAM, dan Demokrasi BEM Nusantara)

إرسال تعليق