TARAKAN, Suaraperjuangan.co.id - Ratusan rumah warga RT 12 Kelurahan Pantai Amal, Tarakan Kalimantan Utara, digusur tanpa ganti rugi dalam pembangunan pengamanan pantai (Sea Wall) Pantai Amal Tarakan.
“Kami heran, cara berpikir Pemerintah menyatakan rumah kami bukan rumah tapi pondok. Tega-teganya, tempat kami tinggal beranak-pinak berpuluh tahun dinilai sebagai pondok tidak layak mendapat ganti rugi,” keluh beberapa orang warga kepada media ini, Senin (25/11/2024) kemarin.
Ketua RT 12 Kelurahan Pantai Amal Tarakan, Widodo membenarkan apa yang disampaikan warganya. Menurutnya, tidak ada warganya yang keberatan dengan pembangunan Pengaman Pantai tersebut, kecuali orang yang menemui wartawan media ini.
Menurut Widodo si Ketua RT 12 dapat membuktikan, warganya sendirilah yang membongkar pondoknya atas kesadaran nya sendiri. Mereka sadar bahwa tempat yang mereka tinggali bukan rumah tetapi pondok.
“Tentunya, Anda sebagai wartawan mustinya dapat membedakan rumah dengan pondok. Apa kriteria sebuah rumah, dan apa yang disebut pondok, sehingga tidak diberi ganti rugi” kata Widodo angkuh.
Menyikapi keluhan masyarakat terdampak proyek pengaman pantai di sepanjang Pantai Amal Baru yang terus berlanjut hingga kini. Ketua Lembaga Pemantau Penyelenggara Negara Republik Indonesia (LPPNRI) Tarakan, Haji Abdul Kadir menyayangkan pernyataan Widodo tersebut
“Apakah kriteria sebuah tempat tinggal disebut rumah apabila bangunannya permanen? Sementara bangunan yang terbuat dari kayu kategorinya pondok?. Jangankan pondok, sebatang tiang pun jika terdampak proyek ada nilai ekonomi dan sosialnya,” kata Abdul Kadir
Makanya, Puang Haji yang banyak berkecimpung di bidang sosial di Kota Tarakan berharap agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan memeriksa proyek yang telah menelan dana ratusan milyar rupiah ini dengan bukti permulaan tidak diberikannya ganti rugi terhadap masyarakat terdampak.
Berbeda dengan warga RT 13 Pantai Amal, yang masyarakatnya menolak Pembangunan Sea wall di tempat mereka. Dengan alasan tidak mau mengorbankan tanam tumbuh dan rumah yang mereka tempati selama berpuluh-puluh tahun dibongkar.
“Tujuan pembangunan pengamanan pantai ini untuk apa? Jika tujuannya untuk pengaman pantai dari ombak agar tidak abrasi, mengapa dibangun di darat sehingga rumah harus dibongkar, kelapa ditebang,” ujar seorang masyarakat yang tidak mau disebut nama di lingkungan RT 13 Pantai Amal kepada Suaraperjuangan.co.id.
Ketua RT 13 Pantai Amal Ramli, membenarkan adanya penolakan warganya dengan alasan tersebut. Itu sebab, ia memohon petugas proyek untuk menangguhkan Pembangunan Sea Wall di wilayahnya untuk dilanjutkan ke RT 14 sekarang.
“Bukan bermaksud menolak proyek pemerintah, semata-mata karena warganya tidak mau kelapanya ditebang dan rumahnya dibongkar seperti yang mereka lihat di RT 12, yang terpaksa membongkar rumahnya sendiri tanpa ganti rugi,” kata Ramli memihak warganya.
“Kehilangan rumah tanpa ganti rugi sangat menyedihkan bagi yang terdampak proyek. Alasan yang dilakukan Pemerintah melalui Ketua RT yang berhubungan langsung dengan masyarakat sangat tidak manusiawi,” kata Jerry Mathias, SH seorang praktisi hukum di Tarakan
Menurut Praktisi Hukum ini, dia sangat yakin, nilai proyek dengan anggaran ratusan milyar, so pasti anggaran untuk pembebasan lahan dan semua kepentingan terdampak proyek sudah dianggarkan sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 2 huruf (a) dan Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Negara.
“Makanya, wajarlah jika masyarakat curiga ada indikasi pejabat terkait tidak memberikan informasi yang benar dan sengaja menutupi informasi tentang peraturan yang mengatur pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Atau memang tidak dianggarkan karena lokasi proyek sesuai manfaat dan kegunaannya di bibir Pantai,” ungkap Jerry matut.
Untuk mengetahui masalahnya, wartawan media ini mencoba menemui PT Voorspoed Konsultan selaku perencanaan Penataan Pantai Amal Tahap II yang memperoleh anggaran Rp 2.204.313.100,00. sebagai konsultan.
Tidak kurang dari 2 jam wartawan media ini menelusuri kampung yang dulunya komplek perumahan Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) perusahaan minyak Belanda yang beralamat di Jl Sei Mahakam No. 54 RT 10 Kelurahan Kampung Empat Tarakan, Kalimantan Utara, ternyata sebuah petak bangsal.
“Tidak ada kantor di sini, petak itu dihuni dua orang. Nggak kelirukah alamatnya,” kata seorang tetangga heran menunjuk petak No 54 tersebut. (SL Pohan)
إرسال تعليق