SUARAPERJUANGAN.CO.ID|Jakarta - Dewasa ini presiden prabowo telah menggunakan hak proregatifnya di ranah tindak pidana korupsi. Tentu saja mekanisme hak proregatif presiden mesti dibatasi dan DPR harus segera merumuskan pembatasan hak proregatif presiden karena berpotensi mencederai nilai kepastian hukum serta pemisahan kekuasaan antara eksekutif dan yudikatif.
Di tahun yang sama sudah terdapat 3 orang yang menerima pengampuan dari presiden di antaranya:
1. Hasto Kristiyanto sebelumnya telah divonis 3,5 tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Juli 2025 dalam kasus suap tersebut akan tetapi di beri amnesti oleh presiden.
2. Tom Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara dalam kasus korupsi impor gula, meskipun hakim menyebutnya tidak menikmati uang hasil korupsi akan tetapi presiden memberikan abolisi.
3. Ira Puspadewi dinyatakan bersalah dalam perkara korupsi terkait kerja sama usaha (KSU) dan proses akuisisi PT Jembatan Nusantara (PT JN) pada periode 2019–2022 akan tetapi diberi rehabilitasi.
Dalam rentetan kasus-kasus ketiganya mendapat pengampunan dari presiden yang kami anggap merupakan pengabain terhadap suatu keputusan yudikatif dengan semangat penegakan kepastian hukum.
Intervensi Presiden terhadap putusan pengadilan merupakan bentuk pelemahan terhadap lembaga yudikatif dan pengabaian terhadap prinsip pemisahan dan pembagian kekuasaan.
Fiat yustitia ruat caelum dan penegakan hukum berada di tangan hakim bukan di tangan presiden. Jikalau formulasi pembatasan hak proregatif presiden tidak segera di bahas maka akan berdampak pada kerusakan check and balance serta pembagian dan pemisahan kekuasaan tidak berjalan secara optimal.
Kami sangat mendukung semangat presiden prabowo untuk memberantas palaku tindak pidana korupsi akan tetapi tidak semestinya pelaku yang telah di vonis bersalah melakukan tindak pidana korupsi diberikan pengampunan secara hukum dikarenakan tindak pidana korupsi masuk dalam kategori ekstra ordinarycrime. (red)

إرسال تعليق