Langkat, Suaraperjuangan.co.id - Penolakan terhadap pemakaian busana Melayu di Langkat dengan alasan bahwa "mayoritas masyarakat Langkat bukan Melayu" dan bahwa aturan itu berasal dari budaya tertentu, mencerminkan pandangan yang sempit terhadap makna kebudayaan dalam bingkai kebangsaan. Pandangan semacam ini bukan hanya keliru, tetapi juga berbahaya, lebih tepatnya saya sebut dungu, karena menempatkan budaya sebagai alat pemecah, bukan sebagai perekat.
Pertama-tama, penting ditegaskan bahwa Langkat adalah tanah beradat, dan akar adat itu adalah Melayu. Ini bukan klaim emosional, tapi fakta sejarah dan budaya yang telah terbentuk jauh sebelum Republik ini berdiri. Kedudukan adat Melayu di Langkat bukan soal jumlah, tapi soal identitas kultural dan landasan historis dari daerah ini.
Menolak busana Melayu dengan dalih bukan berasal dari suku Melayu, sama saja menolak keberadaan budaya lokal yang menjadi identitas wilayah. Kita tidak sedang bicara tentang penyeragaman suku, tapi tentang penghormatan terhadap budaya daerah tempat kita berpijak. Kalau kita tinggal di tanah Melayu, menghargai adat Melayu adalah bagian dari etika bermasyarakat bukan sekadar kewajiban administratif.
Kita bisa belajar dari daerah lain yang justru menjadikan budaya lokal sebagai lambang kebanggaan bersama, bukan hanya milik satu etnis. Di Yogyakarta misalnya, masyarakat dari berbagai suku tetap hormat kepada adat Jawa dan tidak merasa terancam oleh simbol budaya lokal seperti pakaian adat. Begitu pula di Bali, Papua, dan daerah lainnya. Lalu, mengapa justru di Langkat, nilai-nilai kultural Melayu dipertanyakan, seolah-olah adat harus tunduk pada logika mayoritas?, dungu bukan ??
Budaya Melayu tidak pernah menindas, justru terbuka. Tidak ada pemaksaan untuk menjadi Melayu. Yang diminta hanya satu, menghormati tanah di mana kaki berpijak. Maka, memakai busana Melayu bukan tindakan diskriminatif melainkan simbol penghargaan atas adat yang telah menjaga Langkat selama ratusan tahun.
Apakah yang menolak busana Melayu ingin menghapus jejak sejarah Langkat? Atau ingin membangun masa depan yang tercerabut dari akar? Kami masyarakat Melayu Langkat harus tegas mengatakan budaya bukan penghalang kemajuan, melainkan fondasinya. Dan adat Melayu, sebagai ruh Langkat, layak dimuliakan oleh siapa pun yang hidup dan tumbuh di atas tanah ini.
Kita tidak sedang mempersoalkan siapa Melayu dan siapa bukan. Kita sedang bicara tentang bagaimana menjadi warga yang tahu diri, tahu sejarah, dan tahu menghormati tempat tinggalnya. Maka, jika ada yang menolak pemakaian busana Melayu hanya karena merasa "bukan bagian dari budaya itu", pertanyaannya sederhana, apakah kita hidup untuk memecah, atau membangun bersama?
(Rezeki Arinanda).
Ketua umum Himpunan Mahasiswa Melayu Indonesia Kabupaten Langkat.
إرسال تعليق